Archive for June, 2006

Seorang lelaki berumur 92 tahun yang mempunyai selera tinggi,percaya diri, dan bangga akan dirinya sendiri, yang selalu berpakaian rapi setiap hari sejak jam 8 pagi, dengan rambutnya yang teratur rapi meskipun dia buta, masuk ke panti jompo hari ini.

Istrinya yang berumur 70 tahun baru-baru ini meninggal, sehingga dia harus masuk ke panti jompo.

Setelah menunggu dengan sabar selama beberapa jam di lobi, Dia tersenyum manis ketika diberi tahu bahwa kamarnya telah siap.

Ketika dia berjalan mengikuti penunjuk jalan ke elevator, aku menggambarkan keadaan kamarnya yang kecil, termasuk gorden yang ada di jendela kamarnya. Saya menyukainya, katanya dengan antusias seperti seorang anak kecil berumur 8 tahun yang baru saja mendapatkan seekor anjing.

Pak, Anda belum melihat kamarnya, tahan dulu perkataan tersebut.

Hal itu tidak ada hubungannya, dia menjawab. Kebahagiaan adalah sesuatu yang kamu putuskan di awal. Apakah aku akan menyukai kamarku atau tidak, tidak tergantung dari bagaimana perabotannya diatur tapi bagaimana aku mengatur pikiranku. Aku sudah memutuskan menyukainya. Itu adalah keputusan yang kubuat setiap pagi ketika aku bangun tidur.

Aku punya sebuah pilihan; aku bisa menghabiskan waktu di tempat tidur menceritakan kesulitan-kesulitan yang terjadi padaku karena ada bagian tubuhnya yang tidak bisa berfungsi lagi, atau turun dari tempat tidur dan berterima kasih atas bagian-bagian yang masih berfungsi.

Setiap hari adalah hadiah, dan selama mataku terbuka, aku akan memusatkan perhatian pada hari yang baru dan semua kenangan indah dan bahagia yang pernah kualami dan kusimpan. Hanya untuk kali ini dalam hidupku. Umur yang sudah tua adalah seperti simpanan dibank.
Kita akan mengambil dari yang telah kita simpan. Jadi, nasehatku padamu adalah untuk menyimpan sebanyak-banyaknya kebahagiaan di bank kenangan kita.

Terima kasih padamu yang telah mengisi bank kenanganku.

Aku sedang menyimpannya.

Ingat-ingatlah lima aturan sederhana untuk menjadi bahagia

1. Bebaskan hatimu dari rasa benci.
2. Bebaskan pikiranmu dari segala kekuatiran.
3. Hiduplah dengan sederhana.
4. Berikan lebih banyak (give more)
5. Jangan terlalu banyak mengharap (expectless)

Share Button

Rapat Direksi baru saja berakhir. Bob mulai bangkit berdiri dan menyenggol meja sehingga kopi tertumpah keatas catatan-catatannya.

“Waduhhh,memalukan sekali aku ini, di usia tua kok tambah ngaco..”

Semua orang ramai tergelak tertawa, lalu sebentar kemudian, kami semua mulai menceritakan saat-saat yang paling menyakitkan dimasa lalu dulu. Gilirannya kini sampai pada Frank yang duduk terdiam mendengarkan kisah lain-lainnya.

“Ayolah Frank, sekarang giliranmu. Cerita dong, apa saat yang paling tak enak bagimu dulu.”

Frank tertawa, mulailah ia berkisah masa kecilnya.

“Aku besar di San Pedro. Ayahku seorang nelayan, dan ia cinta amat pada lautan. Ia punya kapalnya sendiri, meski berat sekali mencari mata pencaharian di laut. Ia kerja keras sekali dan akan tetap tinggal di laut sampai ia menangkap cukup ikan untuk memberi makan keluarga. Bukan cuma cukup buat keluarga kami sendiri, tapi juga untuk ayah dan ibunya dan saudara – saudara lainnya yang masih dirumah.”

Ia menatap kami dan berkata, “Ahhh, seandainya kalian sempat bertemu ayahku. Ia sosoknya besar, orangnya kuat dari menarik jala dan memerangi lautan demi mencari ikan. Asal kau dekat saja padanya, wuih, bau dia sudah mirip kayak lautan. Ia gemar memakai mantel cuaca-buruk tuanya yang terbuat dari kanvas dan pakaian kerja dengan kain penutup dadanya. Topi penahan hujannya sering ia tarik turun menutupi alisnya. Tak perduli berapapun ibuku mencucinya, tetap akan tercium bau lautan dan amisnya ikan.”

Suara Frank mulai merendah sedikit.

“Kalau cuaca buruk, ia akan antar aku ke sekolah. Ia punya mobil truk tua yang dipakainya dalam usaha perikanan ini. Truk itu bahkan lebih tua umurnya daripada ayahku. Bunyinya meraung dan berdentangan sepanjang perjalanan. Sejak beberapa blok jauhnya kau sudah bisa mendengarnya. Saat ayah bawa truk menuju sekolah, aku merasa menciut ke dalam tempat duduk, berharap semoga bisa menghilang. Hampir separuh perjalanan, ayah sering mengerem mendadak dan lalu truk tua ini akan menyemburkan suatu kepulan awan asap. Ia akan selalu berhenti di depan sekali, dan kelihatannya setiap orang akan berdiri mengelilingi dan menonton. Lalu ayah akan menyandarkan diri ke depan, dan memberiku sebuah ciuman besar pada pipiku dan memujiku sebagai anak yang baik. Aku merasa agak malu, begitu risih. Maklumlah, aku sebagai anak umur dua-belas, dan ayahku menyandarkan diri kedepan dan menciumi aku selamat tinggal!”

Ia berhenti sejenak lalu meneruskan, “Aku ingat hari ketika kuputuskan aku sebenarnya terlalu tua untuk suatu kecupan selamat tinggal. Waktu kami sampai kesekolah dan berhenti, seperti biasanya ayah sudah tersenyum lebar.Ia mulai memiringkan badannya kearahku, tetapi aku mengangkat tangan dan berkata, ‘Jangan, ayah.’ Itu pertama kali aku berkata begitu padanya, dan wajah ayah tampaknya begitu terheran. Aku bilang, ‘Ayah, aku sudah terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal. Sebetulnya sudah terlalu tua bagi segala macam kecupan.’

Ayahku memandangiku untuk saat yang lama sekali, dan matanya mulai basah.

Belum pernah kulihat dia menangis sebelumnya. Ia memutar kepalanya, pandangannya menerawang menembus kaca depan. ‘Kau benar,’ katanya. ‘Kau sudah jadi pemuda besar……seorang pria. Aku tak akan menciumimu lagi.'”

Wajah Frank berubah jadi aneh, dan air mata mulai memenuhi kedua matanya, ketika ia melanjutkan kisahnya. “Tidak lama setelah itu, ayah pergi melaut dan tidak pernah kembali lagi. Itu terjadi pada suatu hari, ketika sebagian besar armada kapal nelayan merapat dipelabuhan, tapi kapal ayah tidak. Ia punya keluarga besar yang harus diberi makan.

Kapalnya ditemukan terapung dengan jala yang separuh terangkat dan separuhnya lagi masih ada dilaut. Pastilah ayah tertimpa badai dan ia mencoba menyelamatkan jala dan semua pengapung-pengapungnya.”

Aku mengawasi Frank dan melihat air mata mengalir menuruni pipinya.

Frank menyambung lagi, “Kawan-kawan, kalian tak bisa bayangkan apa yang akan kukorbankan sekedar untuk mendapatkan lagi sebuah ciuman pada pipiku….untuk merasakan wajah tuanya yang kasar……untuk mencium bau air laut dan samudra padanya…..untuk merasakan tangan dan lengannya merangkul leherku.

Ahh, sekiranya saja aku jadi pria dewasa saat itu.

Kalau aku seorang pria dewasa, aku pastilah tidak akan pernah memberi tahu ayahku bahwa aku terlalu tua ‘tuk sebuah ciuman selamat tinggal.”

Semoga kita tidak menjadi terlalu tua untuk menunjukkan cinta kasih kita…..

(Thomas Charles Clary)

BONUS :
Love isn’t like a reservoir. You’ll never drain it dry.
It’s much more like a natural spring. The longer and the farther it flows, the stronger and the deeper and the clearer it becomes.
(Eddie Cantor, Entertainer 1892-1964)

Share Button

Ada seorang pengembara yang sangat ingin melihat pemandangan yang ada di balik suatu gunung yang amat tinggi. Maka disiapkanlah segala peralatannya dan berangkatlah ia. Karena begitu beratnya medan yang harus dia tempuh, segala perbekalan dan perlengkapannya pun habis. Akan tetapi, karena begitu besar keinginannya untuk melihat pemandangan yang ada di balik gunung itu, ia terus melanjutkan perjalannya. Sampai suatu ketika, ia menjumpai semak belukar yang sangat lebat dan penuh duri. Tidak ada jalan lain selain ia harus melewati semak belukar itu.

Pikir pengembara itu “Wah, jika aku harus melewati semak ini, maka kulitku pasti akan robek dan penuh luka. Tapi aku harus melanjutkan perjal anan ini.”

Maka pengembara itupun mengambil ancang-ancang dan ia menerobos semak itu.

Ajaib, pengembara itu tidak mengalami luka goresan sedikitpun. Dengan penuh sukacita, ia kemudian melanjutkan perjalanan dan berkata dalam hati “Betapa hebatnya aku.

Semak belukarpun tak mampu menghalangi aku.”

Selama hampir 1 jam lamanya ia berjalan, tampaklah di hadapannya kerikil-kerikil tajam berserakan. Dan tak ada jalan lain selain dia harus melewati jalan itu. Pikir pengembara itu untuk kedua kalinya “Jika aku melewati kerikil ini, kakiku pasti akan berdarah dan terluka.

Tapi aku tetap harus melewatinya.”

Maka dengan segenap tekadnya, pengembara itu berjalan. Ajaib, ia tak mengalami luka tusukkan kerikil itu sedikitpun dan tampak kakinya dalam keadaan baik-baik saja.

Sekali lagi ia berkata dalam hati : “Betapa hebatnya aku. Kerikil tajampun tak mampu menghalangi jalanku.”

Pengembara itupun kembali melanjutkan perjalanannya. Saat hampir sampai di puncak gunung itu, ia kembali menjumpai rintangan. Batu-batu besar dan licin menghalangi jalannya, dan tak ada jalan lain selain dia harus melewatinya. Pikir pengembara itu untuk yang ketiga kalinya : “Jika aku harus mendaki batu-batu ini, aku pasti akan tergelincir dan tangan serta kakiku akan patah. Tapi aku ingin sampai di puncak itu. Aku harus melewatinya.”

Maka pengembara itupun mulai mendaki batu itu dan ia…tergelincir. Aneh, setelah bangkit, pengembara itu tidak merasakan sakit di tubuhnya dan tak ada satupun tulangnya yang patah.

“Betapa hebatnya aku. Batu-batu terjal inipun tidak dapat menghalangi jalanku.”

Maka, iapun melanjutkan perjalanan dan sampailah ia di puncak gunung itu. Betapa sukacitanya ia melihat pemandangan yang sungguh indah dan tak pernah ia melihat yang seindah ini. Akan tetapi, saat pengembara itu membalikkan badannya, tampaklah di hadapannya sosok manusia yang penuh luka sedang duduk memandanginya.

Tubuhnya penuh luka goresan dan kakinya penuh luka tusukan dan darah. Ia tak dapat menggerakkan seluruh tubuhnya karena patah dan remuk tulangnya.

Berkatalah pengembara itu dengan penuh iba pada sosok penuh luka itu : “Mengapa tubuhmu penuh luka seperti itu? Apakah karena segala rintangan yang ada tadi? Tidak bisakah engkau sehebat aku karena aku bisa melewatinya tanpa luka sedikitpun? Siapakah engkau sebenarnya?”

Jawab sosok penuh luka itu dengan tatapan penuh kasih : “Aku adalah Tuhanmu. Betapa hatiKu tak mampu menolak untuk menyertaimu dalam perjalanan ini, mengingat betapa inginnya engkau melihat keindahan ini. Ketahuilah, saat engkau harus melewati semak belukar itu, Aku memelukmu erat supaya tak satupun duri merobek kulitmu. Saat kau harus melewati kerikil tajam, maka Aku menggendongmu supaya kakimu tidak tertusuk. Ketika kau memanjat batu licin dan terjatuh, Aku menopangmu dari bawah agar tak satupun tulangmu patah. Ingatkah engkau kembali padaKU?”

Pengembara itupun terduduk dan menangis tersedu-sedu.

Untuk kedua kalinya, Tuhan harus menumpahkan darahNya untuk suatu kebahagiaan.

Kadang, kita lupa bahwa Tuhan selalu menyertai & melindungi kita.

Kita lebih mudah ingat betapa hebatnya diri kita yang mampu melampaui segala rintangan tanpa menyadari bahwa Tuhan bekerja di sana. Dan sekali lagi, Tuhan harus berkorban untuk keselamatan kita. Maka, seperti Tuhan yang tak mampu menolak untuk menyertai anakNya, dapatkah kita juga tak mampu menolak segala kasihNya dalam perjalanan hidup kita dan membiarkan tanganNya bekerja dalam hidup kita?

Share Button